Cerai dalam Islam, Bagaimana Hukum dan Aturannya?


Ditulis oleh Aminuddin Muslih
Mahasiswa STEI SEBI

WARTANUSANTARA.ID|FIQH-- Setiap pasangan tentu pernah merasakan adanya permasalahan dalam rumah tangga. Ada yang berakhir baik dan justru semakin memperkokoh rumah tangganya, namun ada juga yang permasalahannya semakin kompleks dan tidak terselesaikan, yang bahkan berakhir dengan perceraian.

Perceraian atau bisa juga disebut talak dalam Islam adalah pemutusan hubungan suami istri dari hubungan pernikahan yang sah menurut aturan agama Islam dan negara.

Perceraian biasanya dianggap sebagai cara terakhir yang diambil oleh pasangan suami istri untuk menyelesaikan masalah yang dimiliki.

Cerai dalam Islam adalah adalah melepaskan status ikatan perkawinan atau putusnya hubungan pernikahan antara suami dan istri. Dengan adanya perceraian, maka gugurlah hak dan kewajiban keduanya sebagai suami dan istri.

Artinya, keduanya tidak lagi boleh berhubungan sebagai suami istri, misalnya menyentuh atau berduaan, sama seperti ketika belum menikah dulu. Alquran juga mengatur adab dan aturan dalam berumah tangga, termasuk bagaimana jika ada masalah yang tak terselesaikan dalam rumah tangga.
Islam memang mengizinkan perceraian, tapi Allah membencinya. Itu artinya, bercerai adalah pilihan terakhir bagi pasangan suami istri ketika memang tidak ada lagi jalan keluar lainnya.

Allah berfirman: “Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui,” (Al-Baqarah: 227)

Ayat tentang hukum perceraian ini berlanjut pada surat Al-Baqarah ayat 228 hingga ayat 232. Di sana diterangkan aturan-aturan mengenai hukum talak, masa iddah bagi istri, hingga aturan bagi perempuan yang sedang dalam masa iddahnya.

Di dalam surat Ath-Thalaq ayat 1-7 juga dibahas aturan-aturan dalam berumah tangga. Di situ disebutkan tentang kewajiban suami terhadap istri hingga bagaimana aturan ketika seorang istri berada dalam masa iddah.

Dari beberapa ayat tersebut, diketahui bahwa dalam Islam perceraian itu tidak dilarang, namun harus mengikuti aturan-aturan tertentu. Tentu saja aturan-aturan ini sangat memperhatikan kemaslahatan suami dan istri dan mencegah adanya kerugian di salah satu pihak.

Jenis-jenis Cerai dalam Islam

Berikut ini adalah jenis-jenis cerai dalam Islam yang bisa dibedakan dari siapa kata cerai tersebut terucap.

1. Cerai Talak oleh Suami

Perceraian ini yang paling umum terjadi, yaitu suami yang menceraikan istrinya. Hal ini bisa saja terjadi karena berbagai sebab. Dengan suami mengucapkan kata talak pada istrinya, masa saat itu juga perceraian telah terjadi, tanpa perlu menunggu keputusan pengadilan.

Ada beberapa bagian dari talak ini, yaitu:

• Talak Raj’i. Pada talak raj’i, suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada istrinya. Suami boleh rujuk kembali dengan istrinya ketika masih dalam masa iddah. Namun, jika masa iddah telah habis, suami tidak boleh lagi rujuk kecuali dengan melakukan akad nikah baru.

• Talak Bain. Ini adalah perceraian saat suami mengucapkan talak tiga kepada istrinya, sehingga istri tidak boleh dirujuk kembali. Suami baru akan boleh merujuk istrinya kembali jika istrinya telah menikah dengan lelaki lain dan berhubungan suami istri dengan suami yang baru lalu diceraikan dan habis masa iddahnya.

• Talak Sunni. Ini terjadi ketika suami mengucapkan cerai talak kepada istrinya yang masih suci dan belum melakukan hubungan suami istri saat masih suci tersebut.

• Talak Bid’i. Suami mengucapkan talak kepada istrinya saat istrinya sedang dalam keadaan haid atau ketika istrinya sedang suci namun sudah disetubuhi.

• Talak Taklik. Pada talak ini, suami akan menceraikan istrinya dengan syarat-syarat tertentu. Dalam hal ini, jika syarat atau sebab yang ditentukan itu berlaku, maka terjadilah perceraian atau talak.

2. Gugat Cerai Istri

Berbeda dengan talak yang dilakukan oleh suami, gugat cerai istri ini harus menunggu keputusan dari pengadilan. Ada beberapa kondisi yang menyertainya, seperti:

• Fasakh. Ini merupakan pengajuan cerai tanpa adanya kompensasi dari istri ke suami akibat beberapa perkara, antara lain suami tidak memberi nafkah lahir batin selama 6 bulan berturut-turut, suami meninggalkan istri selama 4 bulan berturut-turut tanpa kabar, suami tidak melunasi mahar yang disebutkan saat akad nikah (baik sebagian atau seluruhnya) sebelum terjadinya hubungan suami istri, atau adanya perlakuan buruk dari suami kepada istrinya.

• Khulu’. Ini adalah perceraian yang merupakan kesepakatan antara suami dan istri dengan adanya pemberian sejumlah harta dari istri kepada suami. Terkait dengan hal ini, penjelasannya terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 229.

Hukum Cerai dalam Islam

Hukum perceraian dalam Islam bisa beragam. Hal ini berdasarkan pada masalah, proses mediasi dan lain sebagainya. Perceraian bisa bernilai wajib, sunnah, makruh, mubah, hingga haram. Berikut ini adalah hukum perceraian dalam Islam:

• Perceraian Wajib. Ini harus terjadi jika suami istri tidak lagi bisa berdamai. Keduanya sudah tidak lagi memiliki jalan keluar lain selain bercerai untuk menyelesaikan masalahnya. Bahkan, setelah adanya dua orang wakil dari pihak suami dan istri, permasalahan rumah tangga tersebut tidak kunjung selesai dan suami istri tidak bisa berdamai. Biasanya, masalah ini akan dibawa ke pengadilan dan jika pengadilan memutuskan bahwa talak atau cerai adalah keputusan yang terbaik, maka perceraian tersebut menjadi wajib hukumnya.

• Perceraian Sunah. Ternyata, perceraian juga bisa mendapatkan hukum sunnah ketika terjadi syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah ketika suami tidak mampu menanggung kebutuhan istri. Selain itu,  ketika seorang istri tidak lagi menjaga martabat dirinya dan suami tidak mampu lagi membimbingnya.

• Perceraian Makruh. Jika istri memiliki akhlak yang mulia, mempunyai pengetahuan agama yang baik, maka hukum untuk menceraikannya adalah makruh. Hal ini dianggap suami sebenarnya tidak memiliki sebab yang jelas mengapa harus menceraikan istrinya, jika rumah tangga sebenarnya masih bisa diselamatkan.

• Perceraian Mubah. Ada beberapa sebab tertentu yang menjadikan hukum bercerai adalah mubah. Misalnya, ketika suami sudah tidak lagi memiliki keinginan nafsunya atau ketika istri belum datang haid atau telah putus haidnya.

• Perceraian Haram. Hal ini terjadi jika seorang suami menceraikan istrinya saat istri sedang haid atau nifas, atau ketika istri pada masa suci dan di saat suci tersebut suami telah berjimak dengan istrinya. Selain itu, suami juga haram menceraikan istrinya jika bertujuan untuk mencegah istrinya menuntut hartanya.

Rukun Cerai dalam Islam

Dalam proses perceraian pun, Islam memiliki aturan. Salah satunya dengan adanya rukun perceraian yang harus dipenuhi. Hal ini merupakan syarat sahnya perceraian, sehingga jika tidak dipenuhi maka tidak sah pula proses perceraian tersebut.

Berikut ini adalah rukun cerai dalam Islam yang harus diketahui:

• Rukun Perceraian untuk Suami. Perceraian tersebut sah apabila seorang suami berakal sehat, baligh dan dengan kemauan sendiri. Maka, jika suami tersebut menceraikan istrinya karena ada paksaan dari pihak lain, seperti orang tua ataupun keluarganya, maka perceraian tersebut menjadi tidak sah.

• Rukun Perceraian untuk Istri. Seorang istri akan sah perceraiannya, jika akad nikahnya dengan suami sah dan dia belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya.

Harta Bersama saat Cerai dalam Islam

Sebenarnya, dalam fikih Islam klasik tidak dikenal harta bersama bahkan jika terjadi perceraian, maka harus dilihat siapa pemilik hartanya.

Hal ini berbeda dengan fikih yang berlaku di Indonesia, yang dikenal dengan hukum Islam hasil ijtihad bangsa Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan perubahannya serta Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

Dua peraturan perundang-undangan tersebut dapat disebut fikih, yaitu hasil ijtihad dengan sungguh-sungguh menghasilkan suatu rumusan hukum. Keduanya hasil pemikiran para alim ulama dan umara’, sehingga dapat disebut “fikih Islam Indonesia”, dilansir Hukum Online.

Dalam Pasal 35 UU Perkawinan dikenal harta bersama. Dalam pasal tersebut, harta dalam perkawinan (rumah tangga) dibedakan menjadi: Harta yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi ‘harta bersama’; dan harta bawaan masing-masing suami istri, baik harta tersebut diperoleh sebelum menikah atau dalam pernikahan yang diperoleh masing-masing sebagai harta pribadi, contohnya, hadiah atau warisan.

Harta pribadi sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Demikian juga dalam Pasal 85 – Pasal 97 KHI, disebut bahwa harta perkawinan dapat dibagi atas:

• Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum perkawinan

• Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum perkawinan

• Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama suami istri

• Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.

• Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.

Hak Asuh Anak saat Cerai dalam Islam

Faktanya, hampir semua pasangan yang bercerai umumnya telah memiliki anak. Tentu saja, anak akan mendapatkan dampak yang paling besar terhadap perceraian orang tua, terlebih jika usianya masih begitu belia dan belum banyak memahami persoalan rumah tangga.

Perebutan hak asuh pun tak terelakkan. Meski tak lagi tinggal bersama, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Baik ayah maupun ibu tentu memiliki cara tersendiri untuk mendidik anak, dan inilah yang menjadi penyebab utama hak asuh anak diperebutkan, dikutip Kantor Pengacara.

Dalam Islam, hak asuh anak di dalam perceraian disebut dengan hadhanah, yang artinya merawat, mengasuh, dan memelihara anak. Hadhanah dikaitkan dengan upaya merawat, mengasuh, dan memelihara anak yang masih di bawah umur,sekitar kurang dari 12 tahun.

Menurut ajaran Islam, ibu adalah orang yang paling berhak untuk mendapatkan hak asuh anak. Ini disebabkan karena ibu menjadi sosok yang paling dekat dengan anak, mulai dari mengandung, melahirkan, hingga menyusui.

Ibu mendapatkan hak asuh anak sepenuhnya apabila anak masih di bawah umur atau berusia kurang dari 12 tahun. Namun, ayah juga bisa mendapatkan hak mengasuh anak apabila ibu dinilai memiliki tabiat buruk yang membahayakan anak.

Sementara itu, apabila anak sudah baligh atau dewasa atau berumur di atas 21 tahun, dia sudah memiliki hak untuk memilih akan tinggal bersama ayah, ibu, atau hidup sendiri.

Yang perlu ditekankan mengenai cerai dalam islam: diperbolehkan tapi tidak disukai oleh Allah. Pertimbangkan hal tersebut jika tidak memiliki alasan syar’i untuk bercerai.
 

Referensi :

https://papanyabungan.go.id/id/publikasi/artikel/606-hukum-perceraian-menurut-pandangan islam 
https://www.gramedia.com/best-seller/pernikahan-menurut-pandangan-islam/
https://kemenagkotabaru.info/2022/09/23/lima-ragam-hukum-menikah-dalam-ajaran-islam/

0/Post a Comment/Comments