JENDERAL SOEDIRMAN: LETKOL SOEHARTO ADALAH BUNGA PERTEMPURAN 1 MARET 1949

Foto via portal.riau.24.com


JENDERAL SOEDIRMAN: LETKOL SOEHARTO ADALAH BUNGA PERTEMPURAN 1 MARET 1949
Oleh Tarli Nugroho


Foto ini adalah cuplikan salah satu buku biografi Jenderal A.H. Nasution yang disusun oleh PDAT (Pusat Data dan Analisa Tempo), 1998. Jenderal Soedirman, dalam salah satu suratnya kepada Nasution, pernah menyebut Letkol Soeharto sebagai "bunga pertempuran" Serangan Umum 1 Maret 1949.


Perlu diketahui bahwa sejak Belanda melakukan Agresi Militer tanggal 19 Desember 1948 hingga terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949, komando keamanan di Ibukota Yogyakarta praktis berada di tangan Letkol Soeharto sebagai Komandan Brigade X yang meliputi seluruh wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Panglima Besar Soedirman, karena kecewa pada Bung Karno yang menolak memimpin gerilya, sesudah Presiden dan para menterinya ditahan Belanda, akhirnya memutuskan bergerilya ke wilayah Jawa Timur. 

Posisi Pak Dirman ketika itu sebenarnya baru saja aktif kembali setelah sebelumnya cuti sakit. Bisa dikatakan, pada saat agresi itu terjadi, panglima tak memiliki informasi yang cukup mengenai situasi pertahanan dan keamanan terakhir. Kekecewaannya pada Bung Karno, bisa jadi sebenarnya dipicu karena persoalan itu saja.

Pada saat itu, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang juga posisinya di luar Yogya.

Kolonel Nasution, yang pada waktu itu menjabat Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD), meskipun telah dicegah dan diperingatkan oleh kepala intelijen Kolonel Zulkifli Lubis, bersama dengan seluruh petinggi militer lainnya, sejak dua hari sebelum agresi malah memilih melakukan perjalanan ke Jawa Timur. Yang paling ironis, hampir seluruh pasukan pada saat itu justru sedang berada di luar Yogya untuk melakukan latihan perang. 

Sesudah Nasution menerima informasi mengenai agresi terhadap ibukota, ia memindahkan aktivitas MBKD (Markas Besar Komando Djama) ke Manisrenggo, Klaten. Itupun jedanya sudah berminggu-minggu kemudian. Selama tiga bulan Nasution kemudian berkantor di Klaten, sebelum kemudian memindahkan markasnya ke Kulonprogo. Sejumlah tentara yang marah pada Nasution kemudian memplesetkan singkatan MBKD ini sebagai "Markas Belanda Keliling Djawa".

Jadi, mereka, Pak Dirman, Nasution, Simatupang, dan para panglima yang lain, baru masuk kembali ke Kota Yogya setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali dari pengasingan pada tanggal 6 Juli 1949.

Dalam biografi Ventje Sumual (1998), yang pernah menjabat Komandan SWK 103 di wilayah Godean, diceritakan dengan detail bagaimana situasi keamanan di Yogya pasca-agresi militer Belanda tadi. Pada malam hari sesudah Belanda menguasai ibukota, Letkol Soeharto berkeliling Yogya untuk memastikan pasukan yang bertahan, sekaligus mengamankan jalur bagi para pasukan yang sedang long march menuju luar kota ke titik-titik gerilya yang sebelumnya sudah diatur sejak bulan Juni 1948. 

Sumual juga bercerita bahwa aksi serangan umum untuk menghalau Belanda bukan hanya terjadi pada 1 Maret 1949. Aksi tanggal 1 Maret adalah Serangan Umum yang kelima dilakukan oleh tentara kita. Serangan Umum yang pertama dilakukan pada tanggal 29 Desember 1948, dilanjutkan 9 Januari 1949, lalu 16 Januari 1949, dan yang keempat tanggal 4 Februari 1949. 

Namun, tulis Sumual, karena empat aksi itu selalu dilakukan malam hari, maka efek kejut dan publisitasnya tidak terlalu bergaung. Sehingga, dalam rapat tanggal 12 Februari di Desa Semaken, Kulonprogo, serangan umum berikutnya diputuskan untuk dilakukan pada pagi hari dengan komando berupa sirine berakhirnya jam malam yang biasa dibunyikan oleh pos-pos tentara Belanda sendiri. 

Secara jeli Letkol Soeharto dan kawan-kawannya memilih tanggal ketika Komisi Tiga Negara telah berada di Yogyakarta, sehingga Serangan Umum kelima itu bisa dipastikan akan bergaung hingga ke luar negeri. Aksi itu terbukti bergaung bukan hanya di dalam negeri, tapi juga ke dunia internasional.

Semua pertemuan yang mengorganisir kelima Serangan Umum itu, menurut Sumual, dilakukan dan dipimpin oleh Letkol Soeharto. Belakangan, karena kebencian terhadap Soeharto, dan berpijak pada premis bahwa Soeharto pada masa itu masih memiliki sejumlah atasan, banyak orang, ujar Sumual, telah berspekulasi mengenai peristiwa tersebut dengan mengabaikan bagaimana fakta sejarah seturut para saksinya sendiri.

Jadi, silakan Anda simpulkan sendiri arti Keppres Nomor 2 Tahun 2022 yang diteken oleh Presiden Joko Widodo kemarin. Keppres itu secara ironis memberikan pujian terhadap Bung Karno, Bung Hatta dan Pak Dirman, yang sedang berada jauh di luar Yogya, atas sebuah aksi yang dilakukan oleh para patriot, baik sipil maupun militer, yang saat itu bertahan di Yogya, di bawah pemimpin lapangan Letkol Soeharto.

Janganlah kebencian kita pada seseorang membuat kita jadi tak berlaku adil pada orang tersebut. (Tarli Nugroho)

0/Post a Comment/Comments