[wartanusantara.id] Negara Yahudi Israel kini sudah sampai pada keyakinan tidak bisa membunuh panglima umum Brigade Izzudin Al-Qassam, Muhammad Daif. Ini setelah berkali-kali gagal memburunya sejak tiga dekade terakhir.
(Sumber : PIP)
Daif (56) menjadi momok yang jejaknya tak pernah terendus oleh intelijen Israel, meski berusaha membunuh dan dijadikan target utama. Tak ayal, ia menjadi legenda bangsa Palestina yang menjadi lagu kebanggaan setiap warga Palestina yang tua dan muda.
Demi Palestina
Daif, nama yang banyak disebut dalam laporan-laporan intelijen Israel selama agresinya ke Jalur Gaza. Negara Yahudi Israel mengakui gagal membunuhnya sebanyak tiga kali. Daif sosok bukan lulusan akademi militer manapun. Tidak pernah ikut pelatihan militer intens di negara-negara besar. Daif hanya lahir dari gang-gang kamp pengungsi Palestina Khan Yunis (Gaza selatan) dan cita-citanya tertinggi adalah membebaskan Palestina. Ia menjadi sosok buron paling berbahaya yang diburu Israel sepanjang sejarahnya sehingga dijuluki “hantu bernyawa sembilan”.
Menurut laporan QudsPress, Daif dilahirkan tahun 1965 di kota Khan Yunis (Gaza selatan) dan bergabung dengan Gerakan Perlawanan Islam Hamas sejak kecil serta menjadi aktivis paling bersemangat. Dalam banyak kegiatan Intifada Raya yang meletus 1987, Daif turut serta.
Pernah Jadi Tawanan Israel
Israel pernah menangkap Muhammad Daif. Ketika itu, Israel melancarkan operasi pertamanya kepada Hamas pada Mei 1998. Daif kali itu ditangkap dengan dakwahan bergabung dengan sayap militer Hamas yang dibentuk oleh Shalah Shahatah (yang gugur pada 23 Juli 2002) yang diberi nama Hamas Mujahidin sebelum nantinya diberi nama Brigade Al-Qassam. Setelah ditangkap, Daif dijebloskan ke dalam penjara 1,5 tahun.
Setelah Israel membebaskannya tahun 1991, Daif bergabung dengan kelompok pertama Brigade Al-Qassam setelah sayap militer ini direstrukturisasi. Di antara kelompok dan regunya adalah regu Khan Yunis di antara anggotanya adalah mendiang Asy-Syahid Yaser Namruthi dan Jamil Wadi, juga tawanan Hasan Salamah dan lainnya.
Perjalanan Jadi Buron Terlama
Setelah terlibat dalam sejumlah operasi serangan berani mati (operasi fidaiyah) dan konfrontasi dengan pasukan Israel, Daif menjadi buron penjajah. Perjalanan terlama menjadi buron dalam sejarah Palestina pun dimulai. Namun uniknya, ia menjadi buron di sebuah wilayah geografis yang kecil dan sempit. Selama rentang itu, dengan kehebatannya dalam bersembunyi dan tidak bertahan dalam satu tempat yang sempit dan kecil, Daif berhasil luput dari tangkapan Israel.
Kembali Aktif
Peran Daif muncul setelah pembunuhan Asy-Syahid Emad Akil yang namanya muncul dalam serentetan operasi serangan berani mati pada November 1993. Sejak itu, Brigade Al-Qassam mendaulatnya menjadi pimpinan untuk sementara.
Bersama rekan-rekannya yang menjadi buron dari Brigade Al-Qassam yang jumlahnya lebih dari 15 orang, Daif menjalani hidup yang sangat sulit. Sejumlah rekannya memutuskan untuk meninggalkan Jalur Gaza setelah blockade Israel semakin ketat tanpa ada suplai senjata. Namun Daif memilih bertahan di Gaza.
Selama itu, Daif mampu menjalankan sejumlah operasi serangan kualitatif ke Israel. Bahkan Daif bisa menembus Tepi Barat dan membentuk sel operasi di sana serta terlibat dalam sejumlah operasi serangan di kota Hebron dan kembali ke Jalur Gaza.
Daif memiliki peran besar dalam merencanakan operasi penculikan serdadu Israel Nachshon Wachsman tahun 1994 di baldah Bernabala, dekat Al-Quds. Wachsman dan penculiknya tewas setelah tempatnya terendus.
Daif muncul dengan membawa senapan dan kartu identitas Wachsman yang diselundupkan dari Tepi Barat ke Jalur Gaza. Saat itu ia mengenakan penutup kepala merah. Hal ini untuk mengelabui Israel dan mengurangi ketatnya pengejaran Israel di Tepi Barat dan diarahkan ke Jalur Gaza.
Daif juga berhasil datang bersama Ir. Yahya Ayyash, salah satu pakar bom peledak dari Tepi Barat ke Jalur Gaza setelah ruang geraknya diawasi ketat di sana. Melalui kebersamaannya, Daif menimba pengalamannya dalam merakit bahan peledak. Yahya Ayyash sendiri dibunuh Israel pada awal tahun 1996 melalui telepon dengan disambungkan dengan bahan peledak.
Pembunuhan Ayyash menjadi momen menentukan bagi kehidupan Daif yang kemudian komitmen untuk membalas kematian Ayyash, meski ada Otoritas Palestina di Gaza dan Tepi Barat yang berusaha menghentikan upaya balas dendam atas Ayyash. Daif mengirim Hasan Salamah ke Tepi Barat untuk mensupervisi operasi balas dendam ini. Operasi pembalasan ini berhasil membunuh 60 orang Israel dan melukai ratusan lainnya. Ini menjadi operasi serangan berani mati terbesar sepanjang sejarah Israel.
Pasca operasi pembalasan pembunuhan Ayyash pada musim semi tahun 1996, Daif menghilang total. Otoritas Palestina ikut memburunya dengan menggelar operasi penangkapan besar-besaran terhadap elit dan unsur Hamas.
Tahanan Politik Otoritas Palestina
Otoritas Palestina menangkap dan menahan Daif dengan alasan ingin melindunginya dari serangan udara Israel. Otoritas Palestina memberikan ijin kepada CIA Amerika untuk menginvestigasi Daif dan bertahan di penjara hingga dua tahun.
Daif berhasil kabur dari penjara Otoritas keamanan Palestina di Gaza dan kembali membentuk sel Al-Qassam kembali, meski senjata dan misiu yang mereka miliki berhasil disita. Daif mulai menyiapkan sejumlah operasi serangan hingga meletus Intifada Al-Aqsha September 2000.
Daif bersama rekan-rekannya keluar dari penjara Otoritas Palestina secara diam-diam dan tidak kembali ke rumah mereka. Mereka berpindah-pindah dari pos ke pos pertemuan dengan Israel untuk melakukan operasi serangan-serangan besar. Operasi ini berkembang seiring dengan perkembangan Intifada. Tak seorangpun tahu operasi ini adalah buatan Brigade Al-Qassam sebab selama ini yang mereka tahun Daif dan rekan-rekannya masih di dalam penjara. Sampai kemudian Brigade Al-Qassam mengeluarkan pernyataan resmi ketika gugurnya salah satu komandan Al-Qassam di dalam salah satu operasi serangan yakni Asy-Syahid Awad Silmi.
Komandan Kemudian Pasukan
Setelah Israel membebaskan Syekh Shalah Shahadah tahun 2001, Daif menyerahkan komando badan militer kepadanya. Setelah itu, Shahadah memberikan amanat dan tanggungjawab dalam bidang industry militer di Brigade Al-Qassam yang dikembangkannya dan dilakukan inovasi, terutama jarak tempuh roket yang bisa menjangkau seluruh wilayah Palestina.
Setahun setelah Intifada Al-Aqsha, Daif dihadapkan pada usaha pembunuhan pertama. Saat itu, Daif ditemani Adnan Ghul, pakar bom di Al-Qassam dan anaknya Bilal. Pesawat tempur Israel melepaskan roket di baldah Hajar al-Dek (tenggara Gaza). Secara mengejutkan, Daif selamat namun Bilal gugur syahid.
Setelah gugurnya Shadadah tahun 2002, Hamas menyerahkan tampuk kepemimpinan badan militernya kepada Daif. Babak baru perkembangan perlawanan pun dimulai sebab Brigade Al-Qassam berubah menjadi pasukan militer semi sistematis.
Upaya Pembunuhan Kedua
26 September 2002, tiga bulan setelah gugurnya Shahadah, Daif menghadapi operasi upaya pembunuhan kedua setelah mobil yang ditumpanginya di kampung Syekh Ridwan dibom Israel. Dua ajudannya gugur syahid dan Daif sendiri terluka parah. Akibat serangan ini, salah satu matanya tidak lagi berfungsi yang terlihat di layar televisi. Setelah Israel mengumumkan bahwa pihaknya berhasil membunuh Daif, ternyata dua roket yang menyerang mobil yang ditumpangi Daif tidak berhasil membunuhnya.
Setelah sejumlah informasi memastikan bahwa Daif tidak terbunuh dalam serangan tersebut, Israel mengejarnya hingga ke ruang beda di RS Asy-Syifa di Gaza. Serangan kedua dilakukan untuk menghabisinya. Namun Brigade Al-Qassam mengeluarkannya dari rumah sakit dalam sebuah manuver dan dievakuasi ke tempat aman.
Sumber-sumber Palestina menyatakan bahwa Daif menjadi sasaran upaya pembunuhan ketiga saat salah satu rumah di musim panas 2006 dibom oleh Israel. Hal itu terjadi setelah serdadu Israel Gilad Shalit diculik dan ditawan. Dalam pemboman itu dinyatakan, Daif terluka parah namun Brigade Al-Qassam tidak pernah memastikannya.
Panglima Perlawanan
Daif masih melanjutkan kerjanya menjadi komandan Brigade Al-Qassam yang kemudian hari mengantarkannya menjadi panglima perlawanan. Daif menjadi komandan perang dalam perang tahun 2008-2009, perang 2012 setelah satu ajudannya, Ahmad Jabari dibunuh. Kelompok perlawanan untuk sekali lagi menggempur Tel Aviv. Dalam perang kali ini, Daif menyampaikan pidato yang menjadi penyebab dihentikannya serangan Israel.
Selama menjadi komandan perlawanan dalam perang 2014, Israel berusaha menggelar operasi pembunuhan beberapa kali. Yang paling mashur adalah ketika Israel menggempur rumah keluarga Al Dalwu di kota Gaza di 19 Agustus. Istri dan anaknya terkecil Ali gugur bersama seorang perempuan dan anaknya dari keluarga Al-Dalwu ikut gugur.
Menurut orang-orang yang hidup bersamanya, Daif memiliki sejumlah karakter-karakter seorang pemimpin; tenang, sabar, memiliki keyakinan kuat, ambisius dan sangat tangguh sehingga sampai saat ini masih bebas bergerak tanpa bisa disentuh Israel.
Menurut orang-orang dekatnya, Daif tak kenal hidup mewah dan hanya ingin apapun kecuali hidup sederhana. Hanya rindu kepada shalat dan membaca Al-Quran.
Selama menjadi komandan Brigade Al-Qassam, banyak generasi muda di bawah pimpinannya dan sejumlah pimpinan yang menjadi komandannya yang kemudian gugur terlebih dulu, termasuk yang pernah di penjara Israel, sebagian mereka masih menemaninya.
Kemampuan Brigade Al-Qassam selama kepemimpinan Daif berkembang terus dan pesat. Terutama di bidang industri militer dalam produksi bom, granat, roket dan pengembangannya. Juga dalam operasi berani mati dalam meledakkan bus-bus dan penggalian terowongan bawah tanah, drone (pesawat tanpa awak) dan satuan komando pasukan laut dan peretas di dunia cyber dan seterusnya.
Intelijen Israel masih mencari ujung benang dari komandan yang satu ini untuk dibunuh. Namun langkah prosedur dan preventif keamanannya sangat rapi. Ruang informasi seputar dirinya sangat tertutup rapat dan tidak pernah menampakkan diri sehingga sangat sulit terendus. (at/pip)
Sumber : PIP