Oleh Abdullah Al-Jirani
Para tenaga medis yang ikut di garda terdepan menangani dan merawat para pasien yang terpapar virus Corona, mereka diharuskan memakai APD (Alat Pelindung Diri) atau pakaian khusus yang tidak bisa dibuka sewaktu-waktu. Bahkan sebagian mereka memakai pampers untuk buang hajat baik besar ataupun kecil. Mereka sering mendapatkan waktu shalat dalam kondisi mereka masih dalam waktu tugas sehingga tidak bisa wudhu atau tayamum. Selain itu, mereka juga membawa najis yang ada di pampers.
Mereka yang kondisinya seperti ini, sebagaimana orang yang diistilahkan oleh para fuqaha dengan “faqid Ath-Thahurain” (seorang yang tidak mendapatkan air dan tanah untuk bersuci). Menurut madzhab Syafi’i, hendaknya mereka tetap shalat di waktunya masing-masing tanpa bersuci (berwudhu, tayamum, dan tanpa membersihakan najis) dalam rangka “lihurmatil waqti” (untuk menghormati waktu saja). Jika nanti sudah ada waktu yang memungkinkan untuk melepas pakaian pelindung, maka wajib bagi mereka untuk mengulanginya, baik masih di waktunya atau sudah keluar waktunya.
Imam Al-Mawardi Asy-Syafi’i (w. 405 H) menyatakan :
وَلَو عدم الْمُحدث مَاء وضوئِهِ وتراب تيَمّمه صلى مُحدثا لحُرْمَة الْوَقْت وَأعَاد وَإِذا وجد المَاء أَو التُّرَاب
“Seandainya seorang yang berhadats tidak ada air yang bisa digunakan untuk berwudhu dan debu yang dia gunakan untuk tayamum, hendaknya dia shalat dalam kondisi berhadats untuk menghormati waktu shalat dan wajib baginya untuk mengulang apabila dia telah menemukan air atau debu.” [Al-Iqna’ : 44. Bisa dilihat juga dalam Al-Majmu’ karya An-Nawawi : 2/279].
Dalam pernyataan yang lebih gamblang, Imam An-Nawawi (w.676 H) berkata :
فَإِذَا كَانَ عَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ غَيْرُ مَعْفُوٍّ عَنْهَا وَعَجَزَ عَنْ إزَالَتِهَا وَجَبَ أَنْ يُصَلِّيَ بِحَالِهِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بشئ فاتوا منه ما استطتم " رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ, وَتَلْزَمُهُ الْإِعَادَةُ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ
“Maka apabila pada badannya terdapat najis yang tidak dimaafkan dan dia tidak mampu untuk menghilangkannya, wajib baginya untuk shalat dalam kondisinya tersebut dalam rangka untuk menghormati waktu berdasarkan hadits Abu Hurairah : Sesungguhnya Rasululalh bersabda : Apabila aku memerintahkan suatu perintah kepada kalian, maka lakukan sesuai dengan kemampuan kalian. Riwayat Al-Bukhari dan Muslim”, dan (setelah itu) wajib untuk mengulangi sebagaimana telah disebutkan oleh pengarang (Asy-Syrirazi).” [ Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/136-137].
Adapun menurut madzhab Maliki, mereka yang dalam kondisi yang seperti ini wajib untuk shalat tepat waktu dan tidak wajib mengulangi setelahnya. Hanya saja mereka dianjurkan untuk mengulangi jika masih berada di waktunya, kalau sudah keluar tidak dianjurkan lagi.
Imam Ash-Shawi Al-Maliki (w. 1241 H) menyatakan :
فَإِنْ صَلَّى بِالنَّجَاسَةِ نَاسِيًا لَهَا حَتَّى فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ، أَوْ لَمْ يَعْلَمْ بِهَا حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ، وَيُنْدَبُ لَهُ إعَادَتُهَا فِي الْوَقْتِ.وَكَذَا مَنْ عَجَزَ عَنْ إزَالَتِهَا لِعَدَمِ مَاءٍ طَهُورٍ أَوْ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ عَلَى إزَالَتِهَا بِهِ، وَلَمْ يَجِدْ ثَوْبًا غَيْرَ الْمُتَنَجِّسِ، فَإِنَّهُ يُصَلِّي بِالنَّجَاسَةِ وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ. وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ تَأْخِيرُهَا حَتَّى يَخْرُجَ الْوَقْتُ.
“Jika seorang shalat dengan membawa najis karena lupa sehingga selesai dari shalatnya atau tidak mengetahui sampai selesai dari shalatnya, maka shalatnya sah dan dianjurkan baginya untuk mengulanginya di waktunya. Demikian pula seorang yang tidak mampu untuk menghilangkan najis karena tidak ada air suci atau tidak mampu untuk menghilangkannya, dalam kondisi tidak mendapatkan baju selain baju yang najis. Maka sesungguhnya dia shalat dengan membawa najis dan shalatnya sah. diharamkan baginya untuk mengakhirkannya sehingga keluar dari waktunya.” [ Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Asy-Syarhi Ash-Shagir : 1/65 ].
Jika seorang merasa berat untuk mengulang setiap shalat yang telah dia lakukan, sementara tugas untuk merawat pasien Corona terus berlangsung, maka bisa mengambil pendapat madzhab Maliki. Berpindah dari pendapat suatu madzhab kepada madzhab lain karena adanya suatu kemashlahatan yang besar diperbolehkan, selama masih dalam koridar empat madzhab yang diakui di dunia Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).
Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat bagi kita sekalian dan menjadi amal jariyah bagi penulisnya. Amin ya Rabbal ‘alamin....
_@Abdullah Al-Jirani
Sumber : FB