Inflasi, Kebijakan
Fiskal dan Kebijakan Moneter dalam Perspektif Islam
Inflasi di dunia ekonomi modern sangat memberatkan masyarakat. Hal ini dikarenakan inflasi dapat mengakibatkan lemahnya efisiensi dan produktifitas ekonomi investasi, kenaikan biaya modal, dan ketidakjelasan ongkos serta pendapatan dimasa yang akan datang. Adanya permasalahan inflasi dan tidak stabilnya sektor riil dari waktu ke waktu senantiasa menjadi perhatian rezim pemerintahan yang berkuasa serta otoritas moneter.
Perlu kita ketahui bahwa sebenarnya inflasi itu bukan
kenaikkan harga-harga barang. menurut Rachmad Rizki Kurniawan, SEI, MM salah
satu dosen mata kuliah Ekonomi Makro Islam di STEI SEBI Depok mengemukakan
dalam kuliah online sejak 8 Juni 2020 hingga 29 Juni 2020 bahwa naiknya harga barang merupakan akibat dari
inflasi. Inflasi itu sendiri merupakan turunnya nilai mata uang yang
diakibatkan karena tidak proporsionalnya dalam hal pencetakkan uang. Artinya,
jumlah peredaran barang dan jasa di suatu negara itu tidak sebanding atau lebih
kecil daripada uang yang di cetak dan beredar di negara tersebut. Tingkat
inflasi sangat bergantung dengan jumlah uang yang beredar yang dikendalikan oleh
bank sentral. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, inflasi dipahami sebagai
kemerosotan nilai uang karena banyaknnya uang beredar sehingga menyebabkan
naiknya harga barang-barang.
Oleh karena itu, perkembangan uang beredar dapat
menyebabkan inflasi, perkembangannya dari waktu ke waktu harus diawasi.
Jumlahnya harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan insentif
kepada sektor perusahaan untuk berkembang dan pada waktu yang sama dapat
menghindari berlakunya inflasi yang serius.
Misalnya, ada sepasang suami isteri. Dalam berumah tangga
sang isteri berkata uang yang diberikan oleh suaminya itu kurang, padahal sang
suami sudah memberi isterinya uang yang banyak. Dalam hal ini, yang bersalah
adalah sang isteri. Kenapa? Karena hatinya telah gagal untuk menghargai jerih
payah suamianya. Maka dari itu, di dalam Islam terdapat Qonaah. Jadi, bukan
mempermasalahkan banyak atau sedikitnya. Tetapi, bagaimana alat ukur itu dapat
mengukur dengan ukuran yang sesuai dan benar.
Jika kita ingin menjadi ahli ekonom namun tidak paham
teori dasar ini maka dampaknya kita bisa salah atau kurang tepat dalam
merumuskan atau menentukan kebijakan. Jadi, bukan harga-harga barang yang naik
tapi alat ukur untuk menilai barang-barang tersebut yang merosot atau jatuh
sehingga tidak bernilai lagi. Maka dari itu, ada istilah hyper inflation
artinya nilai mata uang itu sangat jatuh sampai nilainya pun tidak ada lagi.
Contoh lainnya, semisal ada orang yang berbelanja suatu
barang, maka orang tersebut akan membawa uang yang sangat banyak karena uang
tersebut sudah tidak ada nilainya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa jika
inflasi terlalu tinggi maka masyarakat cenderung tidak ingin menyimpan uangnya
lagi, tetapi akan dikonversi atau diubah dalam bentuk barang baik barang yang
siap dipakai atau harus melalui proses produksi (membuat rumah misalnya). Terjadinya
inflasi itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya atau alami, inflasi itu semua
bisa terjadi karena disebabkan oleh ulah manusia.
Dalam mempelajari teori seperti ini, kita tidak bisa
sembarang mengambil referensi dari situs website yang kurang akurat. Akibat
yang ditimbulkan adalah kita akan gagal untuk memahami gejala-gejala yang
timbul atau terjadi yang diakibatkan gagal memahami prinsip atau definisi atau
istilah atau dasar ilmu yang paling inti karena dalam proses memahaminya tidak
benar.
Apakah inflasi itu baik atau buruk untuk perekonomian
suatu negara? Terlebih lagi dalam situasi atau kondisi seperti saat ini sedang
maraknya COVID19. Sehingga, dampak yang ditimbulkan dari COVID19 beraneka
ragam, seperti yang disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo
pada Selasa, 7 Juli 2020 menyampaikan bahwa pembelian surat berharga negara
(SBN) oleh lewat mekanisme burden sharing yang mereka lakukan dalam mengatasi
dampak virus corona dapat berdampak pada peningkatan inflasi. Sebab, burden
sharing itu membutuhkan dana yang sangat besar dan berpotensi memicu
peningkatan jumlah uang beredar di masyarakat.
Tingkat inflasi yang tidak terkendali bisa saja akan
menyebabkan berbagai macam hal buruk dapat terjadi, termasuk perekonomian
mengalami keterlambatan. Dampak negatif dari inflasi yang tidak terkendali akan
tersebar hingga keseluruh elemen masyarakat, mulai dari masyarakat yang
berpenghasilan tinggi hingga yang berpenghasilan rendah.
Bagaimanapun inflasi yang tinggi akan menyebabkan
ketidakseimbangan di pasar, pengangguran, penimbunan suatu barang, hingga
pencegahan suatu bisnis untuk membuat keputusan investasi besar. Namun, inflasi
tidak selamanya memberikan dampak negatif untuk perekonomian. Sebab, jika
pemerintah mampu menjaga inflasi di tingkat yang sehat dan stabil, peningkatan
upah, profitabilitas, hingga arus modal yang mengalir juga turut bertumbuh.
Menurut para ekonom Islam, inflasi sangat berakibat buruk
bagi perekonomian karena:
Menimbulkan gangguan terhadap fungsi uang, seseorang harus melepaskan diri dari uang dan aset
keuangan karena akibat dari beban inflasi yang terjadi. Turunnya marginal
propensity to save, terjadinya inflasi menjadikan lemahnya semangat
menabung dan sikap terhadap menabung dari masyarakat. Naiknya marginal
propensity to consume, terjadinya inflasi menjadikan kecenderungan untuk
berbelanja barang-barang non primer dan barang-barang mewah semakin meningkat. Mengerahkan
investasi pada hal-hal yang tidak produktif, sehingga penumpukan kekayaan
seperti tanah, bangunan, logam mulia, mata uang asing dengan mengorbankan
investasi kearah yang produktif (seperti pertanian, industrial, perdagangan,
transportasi, dan lainnya). (Karim, 2011: 13)
Apakah dalam pemerintahan Islam pernah terjadi inflasi? Pada
masa pemerintahan Islam tidak pernah terjadi inflasi, karena mata uang yang
direkomendasikan dalam Ekonomi Islam adalah dinar (emas) dan dirham (perak).
Dinar emas adalah koin emas dengan kadar 22 karat (91,70%) dengan berat 4,25
gram. Sedangkan dirham perak adalah koin perak murni (99,95%) dengan berat
2.975 gram. Standar dinar dan dirham tersebut telah ditetapkan oleh Rasulullah
SAW, pada tahun 1 Hijriyah, kemudian ditegakkan oleh Khalifah Umar Ibn Khattab
pada tahun 18 Hijriyah. Untuk pertama kalinya saat itu Khalifah Umar Ibn
Khattab mencetak koin dirham. Sedangkan orang yang pertama kali mencetak dinar
emas Islam adalah Khalifah Malik Ibn Marwan pada tahun 70 Hijriyah, dengan
tetap mengacu pada ketentuan yang telah Rasulullah tetapkan.
Dinar dan dirham memiliki nilai yang stabil dan
dibenarkan oleh Islam. Syekh An-Nabhani memberikan alasan mengapa mata uang
yang sesuai adalah emas. Ketika Islam melarang praktik penimbunan harta, Islam
hanya mengkhususkan larangan tersebut untuk emas dan perak, padahal harta itu
mencakup semua barang yang bisa dijadikan sebagai kekayaan.
Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum yang
baku dan tidak berubah-ubah, ketika Islam mewajibkan maka yang dijadikan
sebagai ukurannya adalah dalam bentuk emas. Rasulullah telah menetapkan emas
dan perak sebagai mata uang dan beliau menjadikan hanya emas dan perak sebagai
standar uang.
Inflasi terbagi menjadi dua menurut Al-Maqrizi, yaitu
sebagai berikut:
Inflasi akibat berkurangnya persediaan barang. Inflasi inilah yang terjadi pada masa Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin, yaitu karena kekeringan atau peperangan.
Inflasi akibat kesalahan manusia. Inflasi ini disebabkan oleh tiga hal: korupsi dan
administrasi yang buruk, pajak yang memberatkan, serta jumlah uang yang berlebihan.
Menurut Ensiklopedi umum oleh Prof. Mr. Ag. Pringgodigjo,
inflasi di Indonesia meningkat terus sejak pengeluaran uang yang pertama (ori,1946).
Tindakan-tindakan moneter yang telah dilakukan untuk beberapa kali belum
berhasil menghentikan inflasi.
Untuk mewujudkan inflasi yang nol persen dalam jangka
panjang, maka yang perlu diusahakan adalah menjaga agar tingkat inflasi berada
pada tingkat yang sangat rendah. Untuk menjaga kestabilan ekonomi, pemerintah
perlu menjalankan kebijakan menurunkan tingkat inflasi karena pemerintah
mempunyai peran penting dalam mengendalikan laju inflasi, sebab terjadi atau
tidaknya inflasi tergantung dari kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
menjalankan perekonomian negara. Kebijakan-kebijakan alternatif untuk mengatasi
masalah inflasi yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Apa itu kebijakan fiskal? Kebijakan artinya ketetapan,
menurut Rachmad Rizki Kurniawan, SEI, MM, kebijakan fiskal berarti kebijakan
atau ketetapan dalam pengalokasian keuangan negara. Kebijakan fiskal pada
dasarnya merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran
negara. Penerimaan negara bersumber dari pajak. Menurut teori ekonom Inggris
John Maynard Keynes, kebijakan fiskal merupakan peningkatan atau penurunan
pendapatan (pajak) dan tingkat pengeluaran mempengaruhi inflasi, lapangan
pekerjaan dan aliran uang melalui sistem ekonomi negara.
Kebijakan fiskal mempunyai peran yang penting, hal ini
dikarenakan peran kebijakan fiskal relatif dibatasi. Dua hal yang mendasarinya,
tingkat bunga yang tidak mempunyai peran sama sekali dalam ekonomi Islam, tidak
diperbolehkannya perjudian dalam Islam karena dapat menimbulkan berbagai
praktik perjudian yang mengandung untung-untungan.
Tujuan kebijakan fiskal dalam Islam adalah untuk menciptakan
stabilitas ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan, ditambah dengan
tujuan lain yang terdapat aturan Islam yaitu:
Islam menempatkan pada tempat yang tinggi akan
terwujudnya persamaan dan demokrasi sesuai dengan ekonomi Islam akan dikelola untuk membantu dan untuk
memajukan serta menyebarkan ajaran Islam seluas mungkin.
Kebijakan fiskal dalam menekan laju inflasi, hal ini jelas karena penekanan laju inflasi akan lebih
menonjol dibandingkan dengan cost-push inflation itu sendiri.
Kebijakan fiskal negara sebenarnya telah diberlakukann
pada masa Rasulullah SAW. Al-Quran dan As-Sunnah sering menyinggung kebijakan
fiskal negara. Diantaranya: pengelolaan zakat, pemungutan al-jizyah dari kaum
ahl-kitab, pemberlakuan hukum al-fay’ dan al-ghanimah, serta kebijakan Nabi SAW
atas kepemilikan umum.
Ada tujuh sumber penerimaan negara pada masa Nabi SAW.
Pertama, zakat yang dipungut dari umat Islam yang mampu. Kemampuan diukur
menurut takaran harta yang wajib dizakatkan (nisab). Kedua, al-ghanimah, yaitu
harta yang di dapat dari rampasan perang sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Anfal : 1 yang artinya : “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian)
harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah
dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan
diantara sesamamu.” (QS. Al-Anfal:1)
Berdasarkan Asal Usul dan Perkembangan Islam, hlm. 164,
tradisi rampasan pada masa klasik masih dibenarkan karena belum adanya
kesepakatan dunia internasional, juga masih kentalnya tradisi kesukuan. Ketiga,
al-fay’, yaitu harta yang diambil dari
orang-orang nonmuslim tanpa kekerasan atau peperangan, bahkan dengan perdamaian
dan perjanajian sesuai dengan surat al-Hasyr: 6 yang artinya: Dan apa saja
harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka,
maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak
pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya
terhadap siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah maha kuasa atas segala
sesuatu. (QS. Al-Hasyr: 6)
Ketika Nabi SAW berhasil membangun sebuah negara di
Madinah, al-Quran dan as-Sunnah mulai menyinggung kebijakan fiskal.
Apakah kebijakan moneter itu?
Moneter itu mengenai, berhubungan dengan uang dan keuangan.
Inti dari kebijakan moneter adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan mempertimbangkan
kebijakan umum di bidang perekonomian sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 3
Tahun 2004. Salah satu cara agar nilai rupiah tetap stabil yaitu dengan
pengendalian jumlah rupiah yang beredar dan suku bunga, meningkatkan ekspor dan
mengurangi impor, mengeluarkan kebijakan intervensi ganda baik di pasar valuta
asing maupun pemberian SBN (Surat Berharga Negara) dari pasar sekunder.
Kebijakan moneter dalam Islam berbijak pada
prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam sebagaimana yang tercantum pada buku
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam karangan Adiwarman Azwar Karim, yaitu: (a)
Kekuasaan adalah milik Allah dan hanya Allah pemilik yang absolut. (b) Manusia
merupakan pemimpin (kholifah) di bumi, tetapi bukan pemilik yang sebenarnya.
(c) Semua yang dimiliki dan didapatkan oleh manusia adalah karena seizin Allah,
dan oleh karena itu saudara-saudaranya yang kurang beruntung memiliki hak atas
sebagian kekayaan yang dimiliki saudara-saudaranya yang lebih beruntung. (d)
Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus atau ditimbun. (e) Kekayaan harus diputar.
Dalam aspek teknis, kebijakan moneter Islam harus bebas
dari unsur riba dan bunga bank. Dalam Islam, riba yang termasuk didalamnya
bunga bank diharamkan secara tegas. Dengan adanya pengharaman ini, maka bunga
bank dalam ekonomi kapitalis menjadi instrumen utama manajemen moneter menjadi
tidak berlaku lagi. Manajemen moneter dalam Islam didasarkan pada prnsip bagi
hasil.