Oleh
: Lilis Kamilatun Nisa
Definisi Muslim satu-satunya
yang dapat diterapkan hanyalah definisi yang secara jelas terbukti berasal dari
Rasulullah saw dan yang secara jelas diriwayatkan dari Rasulullah saw dan
terbukti diterapkan pada zaman Rasulullah saw. dan Khulafa Rasyidin.
Rasulullah
saw mendefinisikan Islam sebagai
berikut: “Islam ialah hendaknya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa
di bulan Ramadan, dan beribadah haji di Baitullah”.(HR. Muslim)
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah Saw yang harus selalu
dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek
kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim.
Pribadi muslim yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan sunnah adalah pribadi yang
shaleh, pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai
yang datang dari Allah Swt.
Persepsi masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda, bahkan
banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu
tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah,
padahal itu hanyalah salah satu aspek yang harus lekat pada pribadi seorang
muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al-Qur’an dan
sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga menjadi acuan bagi
pembentukan pribadi muslim. Bila disederhanakan, sekurang-kurangnya ada sepuluh
profil atau ciri khas yang harus lekat pada pribadi muslim.
Hasan Al Banna merumuskan 10 karakteristik muslim yang dibentuk didalam madrasah
tarbawi. Karakteristik ini seharusnya yang menjadi ciri khas dalam diri
seseorang yang mengaku sebagai muslim, yang dapat menjadi furqon (pembeda) yang
merupakan sifat-sifat khususnya (muwashofat). Menurut beliau, karakter ini
merupakan pilar pertama terbentuknya masyarakat islam maupun tertegaknya sistem
islam dimuka bumi, kesepuluh karakter tersebut adalah:
1.
Salimul 'Aqidah
(Bersih Aqidahnya)
“Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku, semuanya karena Allah Rabb semesta alam”. (QS. Al-An’aam : 162).
Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada
setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan
yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan
menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan
kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada
Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam’ (QS 6:162). Karena
memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam
da’wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan
aqidah, iman atau tauhid.
2.
Shahihul Ibadah
(Benar 'Ibadahnya)
“Shalatlah kamu seperti
yang kamu lihat Aku shalat”. (Riwayat Bukhari)
Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul Saw
yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: ‘shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat aku shalat.’ Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan
bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah
Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3.
Matinul Khuluq
(Kokoh Akhlaknya)
“Dan sesungguhnya kamu
wahai Muhammad benar-benar memiliki akhlak yang agung". (QS. Al-Qalam : 68)
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap
dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada
Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan
bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting
memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw diutus untuk
memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya
yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman
yang artinya: ‘Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung’
(QS 68:4).
4.
Qowiyyul Jismi
(Kuat Jasmaninya)
“Mu’min yang kuat lebih
aku cintai daripada mu’min yang lemah”. (Riwayat
Muslim)
Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim
yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan
tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya
yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang
harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan
Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani
harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih
utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai
sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai
seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang
penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: ‘Mu’min yang kuat lebih aku
cintai daripada mu’min yang lemah’ (HR. Muslim).
5.
Mutsaqqoful Fikri
(Intelek dalam Berfikir)
“Katakanlah: samakah
orang yang ber-ilmu dengan orang yang tidak ber-ilmu, sesungguhnya hanya
orang-orang yang ber-akallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar : 39)
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi
muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas)
dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk
berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang,
khamar dan judi. Katakanlah: ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya\ kamu berpikir (QS 2:219). Di dalam Islam, tidak
ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan
aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman
dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan
tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh
karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas
seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah:samakah orang yang
mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui, sesungguhnya orang-orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9).
6.
Mujahadatun Linafsihi
(Kuat Melawan Hawa
Nafsunya)
“Tidak ber-iman seseorang
dari kamu, sehingga ia menjadikan hawa nafsunya tunduk pada ajaran Islam yang
aku bawa”. (Riwayat al-Haakim)
Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatun linafsihi) merupakan salah satu
kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia
memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan
kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya
kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam
melawan hawa nafsu. Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri
manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang
artinya: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya
mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
7.
Harishun ‘ala Waqtihi
(Sungguh-sungguh
menjaga waktunya)
“Manfaatkan lima perkara
sebelum datang lima perkara: mudamu sebelum tua, sehatmu sebelum sakit, kayamu
sebelum miskin, lowongmu sebelum sibuk, dan hidupmu sebelum mati”. (Riwayat al-Haakim)
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi
manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar
dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan
menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan
sebagainya. Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama
setiap, Yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia
yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah
semboyan yang menyatakan: ‘Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan
waktu.’ Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah
kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj
waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang
efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw
adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni
waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang
sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8.
Munazhzhamun fi Syu’unihi
(Teratur dalam
semua masalahnya)
“Kebatilan yang teratur,
dapat mengalahkan kebenaran yang tidak teratur”. (Ali bin Abi Thalib)
Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian
seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu
dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah
harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani
secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah
menjadi cinta kepadanya. Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara
profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu
mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban,
adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan merupakan diantara yang
mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.
9.
Qodirun ‘alal Kasbi
(Mampu berusaha
sendiri)
“Tidak ada penghasilan
yang lebih baik bagi seorang laki-laki daripada bekerja sendiri dengan kedua
tangannya”. (Riwayat Ibnu Majah)
Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri
(qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim.
Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan
berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki
kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan
prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi
ekonomi. Karena itu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh
saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan
umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh
karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits
dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan
kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang
baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari
Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan
mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
10. Naafi’un Lighoirihi
(Bermanfaat bagi
orang lain)
“Sebaik-baik manusia,
adalah paling bermanfaat bagi sesama manusia”. (Riwayat
al-Qudhaa’i).