Oleh Saief Alemdar
Kalau mengikuti kronologi konflik Suriah sejak awal, kira-kira tahun 2013, banyak pemain yang datang silih berganti, kecuali Presiden Bashar Al Assad. Mulai dari peran dominan Arab Saudi, Qatar, ISIS dan lain sebagainya, sampai hari ini, dimana kunci “end gamenya” dipegang oleh Rusia, Turki dan AS.
Ketika konflik internal Suriah berubah menjadi konflik bersenjata internasional yang melibatkan ratusan ribu ton senjata dan 68 negara di dunia, beberapa pihak mencoba menjadi jalan tengah untuk memediasi Perundingan Damai.
Mulai dari Perundingan Jenewa yang diinisiasi oleh AS dan sempat berjalan sekitar 8 putaran, sampai pada Perundingan Astana yang diinisasi oleh Rusia, Turki dan Iran untuk menyaingi Perundingan Jenewa yang dianggap sebagai “US made and Choreographed”, yang kini akan memasuki putaran ke 14 di Nur Sultan awal Desember mendatang. Ketiga Negara inisiator “Astana Talks” tersebut kemudian disebut sebagai Negara Penjamin (Guarantor Countries) memang memiliki pengaruh yang besar dalam “menjalankan” konflik bersenjata di Suriah sejak 4 tahun terakhir.
Setidaknya ada dua faktor penting yang mengubah peta permainan dan konflik di Suriah dalam beberapa pekan terakhir:
Pertama: Operasi Militer “Peace Spring” yang dilakukan oleh Turki beberapa waktu yang lalu di wilayah Utara Suriah atau dikenal dengan sebutan Wilayah Timur Furat benar-benar telah mengubah peta permainan di Suriah. Persaingan kini terjadi antara 5 pihak yang “menjajah” Suriah, baik secara langsung atau tidak, yaitu AS, Rusia, Turki, Iran dan Israel. Semuanya memperebutkan wilayah kekuasaan di Suriah. Setelah lebih dari 8 tahun perang, tampaknya sudah saatnya perang diakhiri dengan peta kekuasaan yang baru di Suriah sesuai dengan kepentingan para pemain.
Kedua: Penempatan pasukan AS di wilayah Timur Laut Suriah di perbatasan Suriah-Irak - dimana banyak tersebar pasukan Iran dan ladang minyak- setelah ditarik dari perbatasan Suriah-Turki. Sementara tempat yang baru ditinggal oleh militer AS di Utara, dibagi-bagi antara Rusia dengan Turki, dalam artian kedua negara tersebut berbagi pengaruhnya di sana kepada proxy masing-masing. Sementara Iran yang tidak mendapat bagian, harus puas dengan bagian yang sudah didapatkan di Damaskus dan beberapa propinsi lainnya seperti di Homs, dan Aleppo.
Israel? Sementar Israel cukup puas dengan mengokupasi Dataran Tinggi Golan, apalagi setelah beberapa waktu lalu AS ikut “memberkati” okupasi tersebut, dan “diamini” oleh Rusia. Tetapi, pada saat yang sama, Israel tidak ingin Iran hidup tenang di Suriah, makanya siang malam Israel menyerang instalasi militer Iran di Suriah, tanpa takut dibalas ataupun kecaman “basi” dunia internasional.
Dari 5 pihak tersebut, hanya Iran dan Israel yang sering berhadapan langsung di Suriah. Sementara Rusia, AS dan Turki saling berperang melalui proxy masing-masing yang ada di lapangan, karena mereka tidak ingin terlibat langsung yang berpotensi menyulut PD III.
Untuk saat ini, seluruh wilayah bagian Utara dan Timur Laut Suriah menjadi ajang perebutan kekuasaan antara AS, Rusia dan Turki. Secara pelan, Iran mulai tidak “dilibatkan” dalam perebutan pengaruh tersebut. Padahal Iran juga ingin punya peran di wilayah Utara dan Timur Laut Suriah diluar wilayah yang sudah dikuasainya selama ini. Tapi, kelihatannya AS, Rusia dan Turki menolak keterlibatan Iran, padahal Iran sudah berupaya secara politik untuk itu, antara lain melalui pernyataan Mursyid Khaminai bahwa Iran tidak memusuhi Yahudi sebagai agama atau bangsa, tetapi hanya memusuhi Pemerintah Israel.
Baru saja kemarin, Iran masih merupakan sekutu Rusia dan Turki sebagai Guarantor Countries, tapi konstelasi geopolitik terbaru telah mengakhiri peran Iran, untuk digantikan oleh AS. Mungkin, semuanya nanti akan menjadi musuh Iran, meskipun masing-masing pihak memiliki definisi “musuh” tersendiri.
Moskow tidak ingin memusuhi Iran secara terang-terangan, karena Moskow tidak percaya pada Washington dan Ankara. Sementara Ankara, tidak terang-terangan menyatakan diri sekutu Iran, karena takut pada Donald Trump yang dihormati oleh Erdogan. Padahal, pada saat yang sama, AS habis-habisan memberikan sanksi sepihak terhadap Tehran yang belum pernah dilakukan oleh siapapun sepanjang sejarah AS dan Iran.
Kalau Rusia, Turki dan AS bisa sepakat di wilayah Timur Furat, maka akan lebih mudah bagi ketiga negara itu untuk sepakat di wilayah lain di Suriah. Meskipun, untuk itu mereka harus mengusir Iran dari Suriah, dan itu bukan hal yang mudah.
Apabila Rusia, Turki dan AS bisa sepakat, maka Brussel (Uni Eropa) pasti akan bergabung, dan itu tidak hanya akan menyelesaikan masalah poltik di Suriah, tetapi juga masalah ekonomi dan kemanusiaan juga akan teratasi. Karena, untuk mengatasi masalah ekonomi dan pembangunan kembali Suriah, dibutuhkan dana sekitar USD 300 miliar, tidak ada yang punya uang sebanyak itu kecuali negara GCC dan Uni Eropa.
Mungkin, pertemuan NATO di London awal Desember mendatang akan memberikan keputusan kapan, bagaimana dan siapa yang akan mengakhiri konflik di Suriah. Karena, hanya "keberkatan" AS dan "amin"nya Rusia yang dapat mengakhiri konflik Suriah...begitu kata orang. Biarlah waktu yang menjawab.
Sumber : FB
*Judul hanya tambahan dari Admin tanpa menguranginya