Abdullah bin Abbas merupakan anak dari paman Nabi Muhammad
Saw. yang bernama Abbas bin Abdul Muthalib. Seorang penulis ternama, Khalid
Moh. Khalid, mendaulatnya sebagai Kiayinya umat ini (Islam). Ya memang begitu
faktanya, banyak orang yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk mengikuti
pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan kepadanya.
Lalu apa rahasianya?
Ketika Abdullah bin Abbas ra. masih kecil, Rosulullah sering
menariknya ke dekatnya, menepuk bahunya serta mendoakan;
“Ya Allah, berilah ia
ilmu Agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.”
Rosulullah Saw. sering mengulang-ulang doa tersebut untuk
Abdullah bin Abbas. Suatu saat beliau pernah membonceng Ibnu Abbas ra. di atas
kendaraannya, disertai dengan pengajaran yang sangat berharga baginya. Pada waktu
itu ia berusia sekitar 10 tahun[1].
Ah memang luar biasa cara mengajar
beliau kepadanya walau secara usia masih kecil, terus mendoakan dan mengajar
pada waktu yang tepat secara kejiwaan. Ibnu Abbas ra. sudah mengetahui
jalan hidupnya, pencari ilmu dan mengajarkannya. Ia bersungguh-sungguh selalu
menghadiri majelis Rosulullah Saw. dan menghapal apa yang beliau ucapkan.
Ketika Rosulullah Saw. wafat sebelum Abdullah bin Abbas
berusia 13 tahun, ia pun bertekad mencari hadist kepada sahabat-sahabat senior
Rosulullah Saw.. Ia pernah bertanya kepada 30 sahabat Rosul mengenai satu
masalah. Bahkan pernah ia mendapatkan satu hadist dari seorang sahabat Rosul
dengan cara mendatangi rumahnya, kebetulan pemilik rumah sedang tidur. Ia duduk
menunggunya di depan pintu rumahnya, sehingga pemilik rumah bangun dan kaget
melihat ia yang sedang duduk menunggu di depan rumahnya. Pemilik rumah berkata,
“Hai saudara sepupu Rosolullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa kamu tidak
suruh orang saja kepadaku agar aku datang kepadamu?” “Tidak, “ ujar Ibnu Abbas
ra. “Bahkan aku yang harus datang kepada anda,” lanjutnya. Kemudian Ibnu Abbas
menanyakan sebuah hadist dan belajar kepadanya.
Ketika Ibnu Abbas dewasa, ia selalu diajak bermusyawarah oleh
amirul mukminin Umar bin Khatab mengenai setiap perkara yang sangat penting. Tiada
lain, karena ia memiliki hapalan yang sangat kuat dan keluasan ilmu yang
melampau usianya. Maka tidak heran, Khalifah Umar bin Khatab memberi gelar
kepadanya ‘Pemuda Tua’
Dialog Ibnu Abbas
dengan Kaum Khawarij
Ketika Muawiyah tidak mau tunduk atas kekhilafahan Ali bin
Abu Thalib ra., Ibnu Abbas berada di pihak Ali. Setelah peristiwa tahkim, terjadi sebagian pendukung Ali
keluar dari barisannya. Mereka disebut kaum khawarij. Ia dikirim oleh Khalifah
Ali bin Abu Thalib untuk menemui kaum khawarij. Terjadilah dialog yang sangat
mengesankan.
“Hal-hal apa saja yang menyebabkan kalian menaruh dendam
terhadap Khalifah Ali?” tanya Ibnu Abbas kepada mereka.
Mereka menjawab, “Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian
kami kepadanya. Pertama, ia
bertahkim pada manusia, padahal Allah berfirman; ‘Tak ada hukum kecuali bagi Allah.’ Kedua, ia berperang tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula
mengambil harta rampasan perang. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir,
berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya jika mereka orang-orang beriman maka
haram darahnya. Ketiga, waktu
bertahkim, ia rela melepaskan gelar Amirul Mukminin dari dirinya demi
mengabulakn tuntutan lawannya. Maka ia sudah bukan amirul mukminin lagi,
berarti ia pemimpin orang-orang kafir.”
Ibnu Abbas menjawab, “Mengenai perkataan kalian bahwa ia
bertahkim kepada manusia dalam agama Allah, apa salahnya?
‘Hai orang-orang yang
beriman jangalah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang
siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti
dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan
dua orang yang adil di antara kamu...’ (
al-Maidah [5] : 95)
Nah, atas nama Allah cobalah jawab, manakah yang lebih
penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum muslimin, ataukah
bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat
dirham?”
Mereka kaum Khawarij tertegun, lalu Ibnu Abbas ra.
melanjutkan, “Tentang mengenai pernyataan kalian tidak melakukan penawanan dan
merebut harta rampasan, apakah kalian menghendaki agar Ali mengambil Aisyah istri
Rosulullah itu sebagai tawanan dan pakaian berkabungnya sebagai harta rampasan?”
Wajah-wajah kaum Khawarij malu mendengar logika yang tajam
ini, lalu Ibnu Abbas melanjutkan, “Adapun mengenai perkataan kalian bahwa ia
rela meninggalkan gelar amirul mukminin dari dirinya sampai proses tahkim
selesai, dengarkanlah apa yang dilakukan oleh Rosulullah di hari perdamaian
Hudaibiyah, yaitu ketika beliau menyetujui isi perdamaian Hudaibiyah yang telah
tercapai dengan kaum Quraisy. Kata beliau kepada penulis, ‘Tulislah, inilah
yang telah disetujui oleh Muhammad Rosulullah..’. Tiba-tiba utusan Quraisy
memprotesnya, ‘Demi Allah jika kami mengakui sebagai Rosulullah, tentulah kami
tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak akan memerangimu. Maka tulislah, inilah
yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah’. Rosulullah berkata kepada
mereka, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rosulullah walaupun kalian tidak
mengakuinya.’ Beliau menyuruh kepada juru tulis, ‘Tulislah apa yang mereka
kehendaki. Tulis, inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah..’”
Dengan jawaban Ibnu Abbas yang sangat tajam dan memukau,
sekitar dua puluh ribu orang kembali ke pangkuan barisan Khalifah Ali bin Abu
Thalib ra. Ia pernah memberikan nasehat kepada Husein bin Ali ra. dan memegang
tangannya agar tidak berangkat ke Kufah untuk memerangi Ziad dan Yazid bin
Muawiyah. Husein tetap berangkat ke Kufah. Ketika mendengar kabar Husein bin
Ali ra. syahid di Karbala, ia sangat bersedih hati.
Itulah kisah Abdullah bin Abbas ra., sepupu Rosulullah yang
luas ilmunya.
Selesai di kaki gunung Gede Pangrango
Sumber utama; buku 60 karakteristik sahabat Rosul karya
Khalid Moh. Khalid.